"I love you."
Katanya dengan nada sedikit dinaikkan diakhir kata. Dia menatapku dengan serius. Rambutnya terkena angin sore itu sehingga membuatku reflek menyingkirkan poninya dari dua mata yang begitu coklat. Aku tahu, dia masih menunggu. Menunggu sebuah jawaban yang sangat susah ku sampaikan begitu saja. Ada banyak pertimbangan yang ku yakin hal ini tak akan berhasil. Bahkan sekalipun aku mencoba memasuki dunianya aku yakin cepat atau lambat hubungan ini akan menemui ajalnya. Dia memang mempesona. Bahkan dia tak pernah lupa apa yang pernah ia ucapkan. Hari ini adalah momen yang tepat baginya, setelah ku berulang kali menghindar mati-matian selama delapan bulan lebih tujuh hari. Sunguh, menghindar dan berpura-pura adalah hal yang tak mengenakkan. Aku mual dan muak akan hal-hal itu. Dan saat ini, rasanya terbayar semua penantian itu. Tapi, lagi-lagi sebelum hari ini terjadi, Shania menemuiku dan menamparku habis-habisan.
"Cewek brengsek!" Katanya sambil mendengus seperti anjing yang kelaparan.
"Sampai kapanpun, gue akan tetap mengawasi gerak-gerik lu. Camkan itu baik-baik ya." Begitulah kalimat penutupnya seraya meninggalkanku di cafe itu. Cafe yang menjadi tempat bersejarahku seumur hidup. Di mana segala kesuksesanku berasal dari sana. Segala ide, segala tangis karena naskahku tak lolos. Dan segalanya tentang dia. Berakhir dengan tragis. Miris.
"Berani-beraninya dia nyamperin tempat temen gue!" Sahut Putri sambil melempar buku fisikanya ke lantai. Dia kesal setengah mati. Aku sudah menenangkannya tapi Putri menatapku kesal.
"Ingat ya, gue gak akan ngizinin lu jadian sama Jordan!" Katanya dan aku akhirnya setuju.
"Masih banyak cowok lain ya Tuhanku. Percayalah Jordan hanya serpihan yang kebetulan lewat dan membawa masalah. Ya ampun jangan lagi berurusan sama Shania. Ampun deh.. sekali lagi dia kayak gitu aku akan menendang rusuknya dua belas kali." Putri mulai memasang kuda-kuda dan aku berusaha mendekatinya.
"Aku janji." Kataku seketika menyadari suaraku bergetar. "Setelah ini tak akan ada apapun lagi. Semua tentang Jordan, Shania dan teman-temannya yang kurang ajar itu. Aku janji semuanya akan baik-baik saja. Aku minta maaf padamu Putri." Kataku sambil menghapus air mataku sendiri.
"Baiklah kalau begitu. Temui dia dan katakan segalanya. Kau tahu, aku dan Khairiza sayang padamu. Kami melakukan ini karena dia bukan cowok yang tepat." Katanya sambil memelukku erat.
"Sampaikan salamku sama Khai." Ujarku sebelum Putri kembali ke Australia menyusul Khai. Dia tersenyum dan memberiku buku catatan berbentuk teddy bear berwarna coklat dan lembaran kertasnya berwarna abu-abu. Aku ingin menangis lagi. Tapi aku tahan.
"Tulislah segala hal yang baru. Segala angan dan harapanmu. Susul kami ya di Aussie." Dia memelukku lagi bahkan pelukan itu masih hangat ketika aku berhadapan dengan cowok yang sedari tadi menatapku, Jordan.
"I love you too," kataku dan Jordan kaget sesaat. "Kita berteman saja ya. Kau tahu, Shania lebih menyayangimu lebih dari aku." Sahutku cepat-cepat.
Wajah Jordan memerah seketika. "Kenapa?" Suaranya kembali terdengar tegas.
"Segalanya sudah jelas Jordan." Sahutku sambil setengah tertawa.
"Kau gak bisa memikirkan ulang jawabanmu?" Katanya seakan-akan dunia sudah kiamat.
"Jordan! Cuma cowok bodoh yang bertanya seperti itu." Seketika Jordan menatapku kesal.
"Kamu punya banyak mimpi. Kau bahkan sudah lolos tes untuk bekerja di Google! Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu pasti bisa tanpa aku." Sahutku sambil meninggalkannya terdiam di depan mall B. Mall yang benar-benar bersejarah sebab waktu masih mencabik-cabik segala ingatan di masa lalu.
***
Aku terbangun dengan energi yang baru. Rasanya bebas dan lepas setelah malam itu berakhir kulalui dengan mulus. Aku mengajak Khai dan Putri untuk video call.
"Helloooo my baby." Suara mereka berdua membuatku gemas.
"Minggu depan aku tes. Doakan aku." Sahutku dengan senang. Aku benar-benar ingin seperti mereka yang dapat beasiswa ke luar negeri.
"Alhamdulilah... pastinya kita akan selalu mendoakanmu. Ngomong-ngomong gimana Jordan?" Goda Khai sambil mengedipkan mata.
"Kalian berhasil membuatnya Hilang." Sahutku sambil tertawa.
"Nah, hebat. Shania?" Putri menambahkan.
"Sepertinya menyusul Jordan ke US." Sahutku yakin setelah melihat instagram Shania.
"Syukurlah udah pergi si nenek lampir itu." Sahut Putri mengusap wajahnya.
"Oh tuhan, hari ini kita harus cepat-cepat ke perpus Putri! Ada banyak tugas nih. Nanti malam Perry ngajak berpesta. Katanya ada minuman segar. Tenang aja, kita gak minum kok cuma mau joget aja." Khai tertawa.
"Oh iya, waduh ada dj jyap." Putri terlihat kaget dan aku masih tertawa geli melihat dua orang yang gila ini.
"Bye semua... have fun ya." Sahutku sambil mematikan ponsel dan berjalan cepat menuruni tangga cafe menyadari aku meninggalkan charger dan headsetku di meja nomor 17.
Ah, benar saja. Sudah ada seorang cowok yang menduduki meja itu. Matanya masih menatap kaku ke layar laptopnya.
"Mas, permisi. Maaf tadi ada kabel charger saya di bawah kursi mas." Sahutku berusaha sesopan mungkin.
Dia menatapku malas. Detik berikutnya dia kaget. Pun begitu reaksiku.
"Flara?!" Katanya ceria.
"Andrew!!!" Sahutku lebih ceria.
"Charger ada nih udah gue cabut, gue pinjem dulu ya kabelnya hehehe." Sahutnya dengan nada bahagia. "Jadi, ngapain lu siang-siang di sini?"
"Biasa, ngerjain tulisan gue. Gue sering kesini malam, sih." Sahutku santai.
" wah, sama dong. Gue tiap siang selalu kesini. Ih parah deh masa kita gak ketemu. Tuh lihat, mang Ujang udah senyum di pojokkan." Sahutnya sambil tertawa.
Mang Ujang, pemilik cafe melambaikan tangan ke arahku.
"Dia penghuni lantai bawah. Kalo elo kan diatas mulu." Sahutnya dengan logat betawi yang begitu kental. Andrew tersenyum sambil mengacungkan jempol ke mang Ujang.
Andrew Terry Soehadi, adalah temanku sejak SMP. Kita memang tidak pernah ngobrol sedikitpun. Dia selalu asik dengan dunianya sendiri. Kau bisa menemukannya di pojok kelas, sudut kantin bahkan sudut perpustakaan pun begitu julukan anak-anak tentangnya "si mojok" bahkan "cacing gila" dan "kutu gila"
Tapi aku sadar dia memang ingin megejar sesuatu. Banyak yang mengolok-olok dia seperti "wah bukan kutu buku ini, tapi kutu gila. Lihat aja tuh yaampun sempit banget hidupnya."
Hingga detik ini kurasa dia sudah berbeda. Kita berbincang soal kampus dan segalanya tentang masa depan.
Dia membuat keinginanku untuk meraih mimpi begitu kuat.
"Percaya deh, kamu pasti bisa. Kita pasti bisa." Katanya sambil memberiku buku-buku miliknya ketika kami sudah meninggalkan cafe dan beranjak pergi kerumahnya yang penuh buku.
Dunia Andrew tidak sempit. Dia benar-benar memimpikan dan mengejar mimpinya.
"Saat ini aku memegang beberapa tugas penting di bank indonesia. Maaf ya aku gak mau pamer, tapi ya lumayan bisa beli iphone 5 buah." Sahutnya sambil tertawa kemudian melanjutkan "ngomong-ngomong, ambil aja buku yang kamu mau. Dan bilang ya kalau ada sesuatu yang sulit. Kita belajar bareng." Sahutnya sambil tersenyum bangga.
"Pasti orang-orang yang ngatain lu cacing gila kaget nih kalo mereka lihat semua ini dan dengar cerita lu." Sahutku.
Andrew menggerakkan telapak tangannya. "Tidak perlu. Mereka tidak perlu tau semua ini. Kamu aja. Lagipula hey, gue gapernah ngajak orang lain kesini." Sahutnya sambil mengambil satu kotak susu dari dalam kulkas kecilnya di sudut rak dan memberikannya padaku.
"Well, suatu kehormatan bisa datang kesini. Ini semua keren. Aku cuma punya kurang dari seperempat dari koleksimu. Kebanyakan novel, sih." Aku nyaris menertawai diriku sendiri. Kemana saja aku?
"Hey hey Flara Safira semua orang berbeda. Ada plus minusnya. Gue gak ngerti nulis novel gimana. Jadi gue harus berguru sama lu, sebab ada hal-hal yang harus gue utarakan tapi bingung." Dia tersenyum. Mata kita saling bertemu.
Dan aku deg-degan. Bodoh! Perasaan itu muncul lagi. Sial!
"Eh ya, kenapa lu cuma ngajak gue kesini. Gue jadi gak enak juga sebenernya." Sahutku bodoh. Niatnya mau mencairkan suasana yang kaku malah terdengar bodoh. Andrew tertawa pelan. Tuhkan bener, dia sadar.
"I believe in you." Sahutnya serius menatapku dan aku merasa beruntung mengenalnya. Dia. Andrew Terry Soehadi-Lembaran baru yang akan kutuliskan di buku catatan pemberian Khai dan Putri.
Terimakasih (sebesar-besarnya) telah menghidupkan mimpi-mimpiku yang nyaris mati.
***
Lanjutin gak ya???
Komentar
Posting Komentar