Malam ini, gue ingin membagikan serpihan-serpihan janji manis dan janji sungguhan. Eaaaaaa
Tunggu dulu, janji manis tuh gimana,sih?
yah itu loh, yang manis-manis asin. (Red: martabak keju coklat).
Oke, di tengah-tengah hujan deras ini,sambil ditemani yang hangat-hangat :p izinkan gue berpuitis ria.
***
Sore itu jingga, masih cerah dan aku masih duduk kaku di hadapanmu. Seharusnya aku menolak. Seharusnya aku tidak perlu menerima tawaranmu. Minum kopi bersama. Halah.
"Lo kenapa?"
"Gak apa-apa. Gak ada masalah." Aku berusaha meyakinkan dia. Dia malah tertawa seraya mengeluarkan rokoknya dan mulai menyesapnya.
"Jadi, lo mau ngomong duluan?" Katanya dengan datar dan aku hampir menumpahkan mocca hangatku di wajahnya.
"Kau tahu, terkadang janji terlalu sulit di tepati? Dan terkadang seseorang lupa bahwa ia sudah berjanji. Ehm, dulu. Dulu sekali." Aku berusaha terdengar santai sementara jemariku sudah membeku di setiap sudutnya.
Ku tatap matanya. Dia berpaling. Menghembuskan asap ke udara dengan bosan.
"Kau tahu, terkadang janji hanya menghambat dirimu dan janji juga membuat kita terikat oleh hal yang terlalu.....utopia." dia terkekeh kemudian menyesap vanilla latenya.
Aku berusaha menahan amarahku.
"Oh ya, kalau begitu aku pergi. Masih banyak janji yang harus ku tepati di luar sana. Bye." Sahutku seraya bangkit dari kursiku.
Benar-benar tidak ingin bertemu dia lagi. Dalam hitungan detik, dia menarik lenganku.
"Gue minta maaf." Katanya singkat dan aku tidak mau menatapnya.
"Tidak ada yang perlu di maafkan." Sahutku seraya melepaskan tangannya dan berlalu pergi.
Bodoh! Seharusnya aku bisa memprediksi apa yang akan terjadi. Berharap kepada dia hanyalah mimpi. Bodoh!
Dalam hitungan detik, aku berhasil mengangkat telepon dari Zen. Aku benar-benar harus menemuinya malam ini. Harus ada sesuatu yang mengalihkan perasaan ini. Ya, harus ada sesuatu.
Malam ini gerimis. Beruntungnya, aku dan Zen sudah sampai di lokasi. Sambil menunggu filmnya di mulai, Zen mengajakku minum kopi.
"Maaf tapi aku lagi gak mau kopi." Sahutku berusaha menyembunyikan momen tadi.
"Tumben." Dia berusaha menatapku tapi aku berusaha menatap ponselku yang jelas-jelas mati.
"Aku mau soda." Sahutku tiba-tiba dan itu membuat Zen kaget.
"Es krim aja yuk." Zen sok ceria. Dan aku berusaha tersenyum.
"Boleh."
Setelah es krim coklat mendarat dengan seksinya di meja kami. Moodku mulai terselamatkan.
"Jadi, kenapa soda?" Sahut Zen dengan nada menyelidik.
"Hanya ingin sesuatu yang... berbeda." Aku nyaris lupa kata terakhir apa yang pas.
"Ayolah, kau bahkan terdengar aneh di telepon tadi." Zen menatapku.
"Oh itu, aku flu." Aku menatapnya dengan serius.
"Oke kamu flu dan es krim itu... apa tidak masalah?" Katanya sambil terkekeh dan aku terdiam seketika.
Bodoh!
"oke, aku tidak baik-baik saja. Maaf, aku berbohong. Semata-mata aku hanya ingin terdengar baik.."
Kataku berusaha meyakinkannya.
"Terkadang, jujur itu sulit. Sulit seperti janji yang terlupakan." Zen menatapku. Kemudian melanjutkan "sekarang, apa kamu mau berjanji untuk jujur? Yah, setidaknya pada dirimu sendiri dulu."
Aku masih menatap Zen. Berusaha tenang. Dan mungkin ini cara terbaik untuk jujur.
"Aku bertemu Rey. Dia mengajakku ngobrol sambil minum kopi dan aku ingin memastikan apakah dia ingat janjinya atau tidak. Dan ternyata tidak..." aku terhenti. Es krim coklat di hadapanku memudar. Buram. Temaram.
"Kalau begitu kita sama." Katanya singkat.
"Maksudnya?"
"Beberapa waktu lalu, ada seorang perempuan yang berjanji mau move on dari gebetannya. Uh! Sayang sekali masih gebetan." Dia tertawa singkat dan aku bergeming.
"Sayangnya, perempuan itu melanggar janjinya. Aku harus apa dong?" Dia menaikkan alisnya dan itu benar-benar membuatku tersudutkan. Segeralah kuhapus air mataku yang belum jatuh.
"Zen, aku benar-benar minta maaf. Oke-oke aku salah. Jadi sekarang kamu mau nonton filmnya atau kamu marah dan lebih baik aku pulang gimana?"
Aku benar-benar panik.
Zen tertawa singkat "oh yaampun perempuan itu kamu ya. Hahaha. Tenang, aku gak marah. Yaudah yuk kita naik aja. Udah lima menit lagi nih." Katanya sambil menggandeng lenganku.
Dan detik berikutnya, aku benar-benar mendapat hal yang baru.
Setelah film selesai, Zen bercerita kepadaku bagaimana hidupnya, teman-temannya, bahkan kisah cintanya.
"Padahal kita baru deket dan aku gak terbiasa cerita ke orang yang baru aku kenal." Katanya dengan ekspresi terkejut di tengah-tengah percakapan.
"Ohya? Selain aku siapa yang tahu hal ini?" Aku penasaran.
"Kamu dan satu sahabatku di luar kota." Dia tersenyum kemudian melanjutkan "tapi dia tidak menyukaiku lagi. Dia tidak ingin bersahabat denganku lagi semenjak aku menolak tawaran buruknya." Sahutnya agak terbata-bata.
"Tawaran buruk?" Aku berusaha terdengar santai.
"Perdagangan illegal." Katanya singkat dan itu cukup membuatku menganggukan kepala.
"Ohya, sebelum pulang.." Zen menawarkan jari kelingkingnya ke arahku. "Ini rahasia." Katanya.
"Oke." Sahutku menyambut jari kelingkingnya.
***
Sekian puitis ria gue malam ini. Kejadiannya gak beda jauh kok sama kejadian aslinya. Cuma nama-namanya aja yang di samarkan. Buat kawan-kawan yang sudah terlanjur janji sama gebetan/pacar/sahabat, (Mungkin mau ngajak nonton F1 atau mau bikin project bikin novel bareng atau mau bikin kejutan makan malam istimewa) dan gak ada yang terealisasi, mungkin bisa direnungkan bersama. Eaaaaa :3
Okedeh, selamat bermalam minggu~
Komentar
Posting Komentar