"Leonard di Bulan Februari" (Bagian 2)

“Leonard di Bulan Februari” (Bagian 2)
Oleh: Syifa.M

 “Yaampun Thania. Itu Leonard yang cupu. Yang gak punya temen terus suka duduk dipojokkan. Dulu anak basket kan?” Luna terkejut seperti habis melihat kuntilanak.

“dia kapten basket dulu di kelas 3, ingat itu.” Thania mengangguk.

“Iya kah? Tapi dia cupu. Sadar Thania.”

“Apaansih, hey tiap orang berubah tau! Dia udah berubah.”

“Tunggu-tunggu.. gue harus lihat buku tahunan.” Luna berlari kecil ke meja belajarnya, mengambil buku tahunan dari tumpukkan komiknya, “nah ini, ini Leonard. Oh tuhan.. Thania. Gue ramal dia akan seperti Adnan. Sifatnya, semua-muanya.” Sahut Luna, matanya masih melotot.

“Apaan sih maksud lu? Gak usah lebay ah... Leo bukan kuntilanak di belokan itu.” Thania mengangguk pasti.

“Bukan, bukan itu. Leonard, namanya sesuai sama zodiaknya. Dan lu harus tau Zodiaknya Leonard sama dengan Zodiaknya Adnan. Kaget kan? Nah, ini, lu lagi dihadapkan dengan dua cowok yang berzodiak sama. Bentar-bentar gue harus buka akun primbon online gue dulu.” Sahut Luna sambil mengambil laptopnya.

“OH TUHAN! LUNA PLEASE!” Thania merebut laptop Luna kemudian melanjutkan “Luna, orang-orang gak bisa begitu aja disamain sama zodiak. Orang-orang itu punya hal yang berbeda-beda. Ramalan zodiak itu bagi gue ya stereotip aja. Please, izinkan gue tau Leonard secara langsung. Bukan dari hal-hal kayak gini. Gue hanya ingin mengalihkan Adnan.”

“dari dulu lu gak berubah. Gak percaya zodiak. Gak seru ah. Yaudah gue cari sendiri dan gue gaakan bilang sama lu. deal?” sahut Luna merebut laptopnya.

“yaudah deal.” Thania mengusap wajahnya. 

“maaf ya, gue cuma gak ingin mendengar ramalan-ramalan itu aja. Lu tau kan dari dulu gue gak tertarik sama hal itu.”

“iya, gue ngerti kok. Tapi please, kabarin gue soal hubungan kalian. Gue merasakan ada hal-hal yang baru yang akan terjadi di kehidupan lu.” Luna tersenyum bangga.

“Iya mama Luna sang peramal online.” Thania tertawa.
***
Leonard.
“Woi, gue udah di depan kampus lu.”

Seketika Thania segera merapikan mejanya. “gue balik duluan ya. Nanti semua yang kalian udah cari bahan-bahannya kirim ke email gue aja. Sorry banget nih. Oke?” sahut Thania.

“Yaiyalah lewat email, nih ketua kelompok kalian lagi di mabuk cinta sama cowok di depan gerbang kampus hahaha.” Suara Luna di ambang pintu kelas sontak membuat tawa teman-teman Thania tertawa nyaring. Thania melotot ke arah Luna.

“ngapain sih ke kampus gue?” sahut Thania dengan nada tegas.

“tuhkan udah lupa ingatan, ini kan kampus Lutfi juga. Lihat deh guys, bener kan kalo orang lagi mabuk kayak gitu. Suka lupa ingatan. Hahaha.” Sahut Luna. Thania seketika baru sadar. Bodoh!

“Oh, jadi beneran nih Thania punya pacar ya?” sahut Putri dari balik laptopnya.

“gak punya juga. Itu tuh cuma teman. Udah ah, bye semuaaa. Bye Luna.” Sahut Thania sambil berlari pelan menuju gerbang.

Dia mendapati Leonard sudah kepanasan di dekat halte. Cowok itu sudah melepas helm nya.
“Bang, haus bang?” sahut Thania sambil tertawa.

“Lama banget sih, jangan kesenengan lu kalo gue tungguin. Panas nih.”

“yehh gue lagi diskusi kelompok dulu tadi.” Thania berusaha terlihat benar.

“yaudah, buruan naik.”

Mereka tiba di cafe kecil di dekat kampusnya Thania.

“Oh jadi di sini ada cafe ya.” Thania bergumam nyaris berbicara pada dirinya sendiri.

“makanya, jangan belajar terus. Main dong.” Sahut Leonard dan berhasil membuat Thania cemberut.

“Eh Thania, gue mau cerita nih, dengerin ya, jadi gue pernah punya pacar, terus gue putus, coba tebak gue putus gara-gara apa?” sahut Leonard sambil memasang muka serius.

“karena dia selingkuh?” Sahut Thania.

“ya benar. Dia selingkuh sama perempuan. Sial gak gue? ngeselin kan.” Sahut Leonard sambil tertawa.

“serius? Hahaha kok bisa sih? Hahaha aduh ini bercanda apa serius sih?” Thania benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya.

“serius. Aduh parah banget deh hal itu.” Leo mengangguk pasti. “tapi inget ya lu jangan cerita-cerita ke siapapun temen SMP kita.”

“yaelah tenang aja. Ngomong-ngomong gue juga punya cerita sama kayak lu. Gue suka banget sama cowok itu dari awal pertama ngeliat dia di kelas. Kita ngobrol, dan dia itu yah kayak cowok biasa aja gitu. Dia tahu si kalo gue suka sama dia. Tapi ternyata dia ngaku kalau dia gay.” Sahut Thania.
Leonard spontan langsung tertawa, “aneh ya, kok bisa sama gitu.”

“hehe, iya.” Thania merasa ada yang berbeda. Kenapa ia merasa lebih senang dari sebelumnya bertemu Adnan. Tapi mereka berdua sama-sama asik. Lagi-lagi ia mengingat Adnan.

Satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam berlalu begitu saja tanpa mereka sadari. Mereka asik mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, teman-teman menyebalkan, dan rencana-rencana di masa depan. Tibalah di akhir topik, mengenai satu hal yang sering menjadi topik perbincangan: soal cinta.

Setelah Leonard menceritakan kisah cintanya, giliran Thania menceritakan sedikit kisahnya. Ia bercerita soal kedekatannya dengan Adnan, dan bagaimana bisa seorang Adnan yang sudah punya pacar mengajaknya mengobrol berdua saja.

“sebelumnya, dia bilang gak mau ngobrolin apa?” Leonard menatap Thania dengan serius.

“dia gak bilang topiknya apa. Tapi dia bilang sih kalau hubungan dia mau putus gitu. Terus gak lama dia ngomong gitu, pacarnya datang dan ngajak pulang gitu deh.”  Thania meminum jusnya.

“Lu masih suka sama dia?” Leonard membuat Thania terkejut.

“gue udah move on.” Thania tersenyum.

“Ingat ya, Lo udah punya ingatan yang baik. Jangan bego. Ohya, kalo move on yang benar. Jangan inget dia lagi.” tiba-tiba suara Leonard terdengar tegas. Seketika Thania merasa, Leonard ada benarnya juga, Adnan membuatnya terlihat bodoh. Jelas-jelas Adnan sudah punya pacar.

“Maaf ya gue bego. Lagian kan tadi lo nanya soal dia. Makanya gue cerita.”

“Gue cuma mau liat. Lu masih inget dia secara utuh apa gak.” Leonard masih menatap Thania.

“Yaudah. Maaf ya, dimaafin gak?” Thania menyahut masih memakan permen coklat di pinggiran gelas jusnya.

“Gak ada yang salah juga ngapain minta maaf. Itu buruan abisin permennya. Kan kita mau beli eskrim, terus kayaknya ada film bagus deh, lu tau kan film yang diadaptasi dari novel sastra gitu. Yuk!”

“Wah, lu ngikutin sastra juga?” Thania mulai kembali senang.

“gak terlalu suka, sih. Cuma setau gue film itu lagi hitz banget.” Leonard tertawa pelan.

“iya, tapi banyak yang bilang filmnya kurang bagus sih sebenarnya, tapi gue juga penasaran sebenarnya.” Thania masih mengingat-ingat beberapa komentar teman-temannya.

“Thania, nih ketinggalan.” Sahut Leonard sambil memberikan permen. Bukan. Itu bukan permennya Thania. Bukan juga permen kuntilanak di belokan. Itu benar-benar dari Leonard.

“Nah Leonard, Terimakasih ya sudah hadir di bulan ini.” Sahut Thania ketika mereka sudah diperjalanan.

“Jadiin cerpen dong. Tapi namanya diganti ya.” Sahut Leonard sambil tersenyum. Dan senyum itu, yang menjadi penyemangat Thania hingga hari-hari berikutnya.

***



Komentar