Oleh:
Syifa.M
“Yaampun Thania.
Itu Leonard yang cupu. Yang gak punya temen terus suka duduk dipojokkan. Dulu
anak basket kan?” Luna terkejut seperti habis melihat kuntilanak.
“dia kapten basket dulu di kelas 3, ingat itu.” Thania
mengangguk.
“Iya kah? Tapi dia cupu. Sadar Thania.”
“Apaansih, hey tiap orang berubah tau! Dia udah berubah.”
“Tunggu-tunggu.. gue harus lihat buku tahunan.” Luna
berlari kecil ke meja belajarnya, mengambil buku tahunan dari tumpukkan komiknya,
“nah ini, ini Leonard. Oh tuhan.. Thania. Gue ramal dia akan seperti Adnan.
Sifatnya, semua-muanya.” Sahut Luna, matanya masih melotot.
“Apaan sih maksud lu? Gak usah lebay ah... Leo bukan
kuntilanak di belokan itu.” Thania mengangguk pasti.
“Bukan, bukan itu. Leonard, namanya sesuai sama
zodiaknya. Dan lu harus tau Zodiaknya Leonard sama dengan Zodiaknya Adnan.
Kaget kan? Nah, ini, lu lagi dihadapkan dengan dua cowok yang berzodiak sama.
Bentar-bentar gue harus buka akun primbon online gue dulu.” Sahut Luna sambil
mengambil laptopnya.
“OH TUHAN! LUNA PLEASE!” Thania merebut laptop Luna
kemudian melanjutkan “Luna, orang-orang gak bisa begitu aja disamain sama
zodiak. Orang-orang itu punya hal yang berbeda-beda. Ramalan zodiak itu bagi
gue ya stereotip aja. Please, izinkan gue tau Leonard secara langsung. Bukan
dari hal-hal kayak gini. Gue hanya ingin mengalihkan Adnan.”
“dari dulu lu gak berubah. Gak percaya zodiak. Gak seru
ah. Yaudah gue cari sendiri dan gue gaakan bilang sama lu. deal?” sahut Luna merebut
laptopnya.
“yaudah deal.” Thania mengusap wajahnya.
“maaf ya, gue cuma gak ingin mendengar ramalan-ramalan itu aja. Lu tau kan dari dulu gue gak tertarik sama hal itu.”
“maaf ya, gue cuma gak ingin mendengar ramalan-ramalan itu aja. Lu tau kan dari dulu gue gak tertarik sama hal itu.”
“iya, gue ngerti kok. Tapi please, kabarin gue soal
hubungan kalian. Gue merasakan ada hal-hal yang baru yang akan terjadi di
kehidupan lu.” Luna tersenyum bangga.
“Iya mama Luna sang peramal online.” Thania tertawa.
***
Leonard.
“Woi, gue udah di depan kampus lu.”
Seketika Thania
segera merapikan mejanya. “gue balik duluan ya. Nanti semua yang kalian udah
cari bahan-bahannya kirim ke email gue aja. Sorry banget nih. Oke?” sahut
Thania.
“Yaiyalah lewat
email, nih ketua kelompok kalian lagi di mabuk cinta sama cowok di depan
gerbang kampus hahaha.” Suara Luna di ambang pintu kelas sontak membuat tawa
teman-teman Thania tertawa nyaring. Thania melotot ke arah Luna.
“ngapain sih ke
kampus gue?” sahut Thania dengan nada tegas.
“tuhkan udah lupa
ingatan, ini kan kampus Lutfi juga. Lihat deh guys, bener kan kalo orang lagi
mabuk kayak gitu. Suka lupa ingatan. Hahaha.” Sahut Luna. Thania seketika baru
sadar. Bodoh!
“Oh, jadi beneran
nih Thania punya pacar ya?” sahut Putri dari balik laptopnya.
“gak punya juga.
Itu tuh cuma teman. Udah ah, bye semuaaa. Bye Luna.” Sahut Thania sambil berlari
pelan menuju gerbang.
Dia mendapati
Leonard sudah kepanasan di dekat halte. Cowok itu sudah melepas helm nya.
“Bang, haus bang?”
sahut Thania sambil tertawa.
“Lama banget sih,
jangan kesenengan lu kalo gue tungguin. Panas nih.”
“yehh gue lagi
diskusi kelompok dulu tadi.” Thania berusaha terlihat benar.
“yaudah, buruan
naik.”
Mereka tiba di cafe
kecil di dekat kampusnya Thania.
“Oh jadi di sini
ada cafe ya.” Thania bergumam nyaris berbicara pada dirinya sendiri.
“makanya, jangan
belajar terus. Main dong.” Sahut Leonard dan berhasil membuat Thania cemberut.
“karena dia
selingkuh?” Sahut Thania.
“ya benar. Dia
selingkuh sama perempuan. Sial gak gue? ngeselin kan.” Sahut Leonard sambil
tertawa.
“serius? Hahaha kok
bisa sih? Hahaha aduh ini bercanda apa serius sih?” Thania benar-benar tidak
bisa mengontrol dirinya.
“serius. Aduh parah
banget deh hal itu.” Leo mengangguk pasti. “tapi inget ya lu jangan
cerita-cerita ke siapapun temen SMP kita.”
“yaelah tenang aja.
Ngomong-ngomong gue juga punya cerita sama kayak lu. Gue suka banget sama cowok
itu dari awal pertama ngeliat dia di kelas. Kita ngobrol, dan dia itu yah kayak
cowok biasa aja gitu. Dia tahu si kalo gue suka sama dia. Tapi ternyata dia
ngaku kalau dia gay.” Sahut Thania.
Leonard spontan
langsung tertawa, “aneh ya, kok bisa sama gitu.”
“hehe, iya.” Thania
merasa ada yang berbeda. Kenapa ia merasa lebih senang dari sebelumnya bertemu
Adnan. Tapi mereka berdua sama-sama asik. Lagi-lagi ia mengingat Adnan.
Satu jam, dua jam,
tiga jam, empat jam berlalu begitu saja tanpa mereka sadari. Mereka asik
mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, teman-teman menyebalkan, dan
rencana-rencana di masa depan. Tibalah di akhir topik, mengenai satu hal yang
sering menjadi topik perbincangan: soal cinta.
Setelah Leonard
menceritakan kisah cintanya, giliran Thania menceritakan sedikit kisahnya. Ia
bercerita soal kedekatannya dengan Adnan, dan bagaimana bisa seorang Adnan yang
sudah punya pacar mengajaknya mengobrol berdua saja.
“sebelumnya, dia
bilang gak mau ngobrolin apa?” Leonard menatap Thania dengan serius.
“dia gak bilang
topiknya apa. Tapi dia bilang sih kalau hubungan dia mau putus gitu. Terus gak
lama dia ngomong gitu, pacarnya datang dan ngajak pulang gitu deh.” Thania meminum jusnya.
“Lu masih suka sama
dia?” Leonard membuat Thania terkejut.
“gue udah move on.”
Thania tersenyum.
“Ingat ya, Lo udah
punya ingatan yang baik. Jangan bego. Ohya, kalo move on yang benar. Jangan
inget dia lagi.” tiba-tiba suara Leonard terdengar tegas. Seketika Thania
merasa, Leonard ada benarnya juga, Adnan membuatnya terlihat bodoh. Jelas-jelas
Adnan sudah punya pacar.
“Maaf ya gue bego.
Lagian kan tadi lo nanya soal dia. Makanya gue cerita.”
“Gue cuma mau liat.
Lu masih inget dia secara utuh apa gak.” Leonard masih menatap Thania.
“Yaudah. Maaf ya,
dimaafin gak?” Thania menyahut masih memakan permen coklat di pinggiran gelas
jusnya.
“Gak ada yang salah
juga ngapain minta maaf. Itu buruan abisin permennya. Kan kita mau beli eskrim,
terus kayaknya ada film bagus deh, lu tau kan film yang diadaptasi dari novel
sastra gitu. Yuk!”
“Wah, lu ngikutin
sastra juga?” Thania mulai kembali senang.
“gak terlalu suka,
sih. Cuma setau gue film itu lagi hitz banget.” Leonard tertawa pelan.
“iya, tapi banyak
yang bilang filmnya kurang bagus sih sebenarnya, tapi gue juga penasaran
sebenarnya.” Thania masih mengingat-ingat beberapa komentar teman-temannya.
“Thania, nih
ketinggalan.” Sahut Leonard sambil memberikan permen. Bukan. Itu bukan
permennya Thania. Bukan juga permen kuntilanak di belokan. Itu benar-benar dari
Leonard.
“Nah Leonard,
Terimakasih ya sudah hadir di bulan ini.” Sahut Thania ketika mereka sudah
diperjalanan.
“Jadiin cerpen
dong. Tapi namanya diganti ya.” Sahut Leonard sambil tersenyum. Dan senyum itu,
yang menjadi penyemangat Thania hingga hari-hari berikutnya.
***
Komentar
Posting Komentar