Oleh:
Syifa.M
Percayakah kamu akan sebuah kebetulan? Atau kebetulan itu
tidak pernah ada? hmm, menurut KBBI, kebetulan adalah keadaan yang terjadi
secara tidak terduga. Namun, menurut beberapa opini beberapa orang, kebetulan
itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah kuasa Tuhan sebab waktu adalah
milikNya. Di sini saya tidak akan membenarkan atau menyalahkan definisi
kebetulan itu seperti apa. Saya lebih suka membuat pengandaian
terhadap kata “kebetulan” yaitu: “waktu berbicara”. Terkesan aneh bukan? Waktu berbicara?
Bagaimana bisa? Bisa saja, menurut saya, ketika waktu berbicara, dia menunjukkan
bahwa segala hal yang terjadi sudah pada waktunya. Seperti sebuah skenario yang
berdurasi.
Tenang. Tenang. Saya gak akan bahas hal berat. Sebab rindu
kepadanya saja sudah berat. Hahaha. Oke lanjut ya.
Siang itu cerah berawan disertai gerimis. Saya bertemu
sahabat saya di kampus. Selepas menyusun jadwal untuk minggu depan. Kita ngobrol
di sudut kampus yang masih tersisa. Topik hangat dimulai soal: urusan hati.
Sahabat saya, sebut saja Asha, mulai bercerita lebih
dulu. Asha bilang bahwa ia selalu bertemu seseorang yang ia suka sejak di
semester satu. Saya pun kaget, saya kira selama ini kita hanya bercanda soal
cowok yang selalu jadi topik perbincangan saya dan Asha sehabis kelas. Cowok
itu, Al. Al memang mempesona bagi setiap cewek. Jujur saja, saya juga kagum
tapi hanya sesaat.
“bukannya, lu masih punya pacar ya pas semester satu?”
sahut saya yang masih geli. Benar-benar tidak menyangka bahwa sahabat saya
beneran suka sama Al.
“iya, gue juga belum putus kok sama pacar gue. Gue hanya
ngerasa senang aja gitu. Kali pertama lihat dia di kelas, lu inget gak sih yang
dia minjem pulpen gue?” Asha nyaris mengguncang tubuh saya. Saya berusaha
mengingat tapi gagal.
“Kayaknya dulu gue lagi fokus mikirin cowok lain selain
Al, deh.” Sahut saya sambil tertawa.
“Ah, lu mah gak peka. Sebenarnya sejak saat itu dia
selalu chatting sama gue sampe kemarin.” Suara Asha terdengar bahagia.
“Wah parah si lu gak cerita sama gue, tapi, tunggu-tunggu
gue baru sadar selama ini kalau kita ketemu dia pasti yang dia sapa kok selalu
nama lu ya, bukan gue.” sahut saya tiba-tiba ingat kejadian-kejadian beruntun
di semester lalu.
“Dulu kan lu sibuk banget. Sekarang juga, sok aktif
banget lu di ukm.” Asha tertawa singkat dan saya masih terdiam. Benar juga. Saya
sempat melupakan Asha.
“Maaf ya, Sha, dulu kita jarang cerita sampai lama.”
“Iya gapapa ih, yang penting kita ketemu sekarang. Nah
jadi gini, dia itu seperti mengisi kekosongan hati gue di hari-hari sibuk
selama di kampus. Dia itu seperti seseorang yang bisa membuat gue semangat.”
Asha masih senyum-senyum.
“Kalian udah jalan bareng?” saya penasaran.
“belumlah. Cuma di chatting. Tapi bagi gue itu udah cukup
karena yah, lu taulah, LDR itu gak bisa dibilang enak. Ada momen-momen di mana
lu butuh ‘perhatian’ secara langsung.” Asha mengangguk pasti.
“Oke, oke, yang penting semangat dulu ya. Ngomong-ngomong
orang nya gak ada nih.” Saya mulai mencari-cari.
“Dia gak datang. Kemarin gue hanya bisa lihat dia dari jauh.
Gue tahu itu dia. Tapi gue ga bisa manggil karena di sisi lain, cowok gue
nelpon.” Asha menghela nafas sebelum kembali tersenyum dan berkata “Entah,
kebetulan banget ya dia melintas di hidup gue.”
“Itu bagus. Maksud gue ya gak ada salahnya jadiin dia
penyemangat. Dan itu semua tergantung perasaan lu ke dua hati itu deh.” Saya tidak
bisa berkomentar banyak. Rasanya terlalu aneh bukan apabila menjudge seseorang ‘berselingkuh’
padahal belum ada ikatan apa-apa. Pacar bisa putus, kan?
“Yakin dia hanya kebetulan melintas?” sahut saya sambil
menatap Asha.
“hmm, gue rasa gitu. Eh, tunggu, lu inget gak, pas ada
laba-laba jatuh di rambut lu dan lu teriak sehingga membuat si Fahri megang
rambut lu? itu kebetulan kan? Hahaha. Dan pas hujan-hujan kalian terjebak di kampus berduaan karena lu gak bawa payung? hahaha.” Sahut Asha yang membuat saya mencubit
lengannya.
“Bisa gak pelan-pelan, kalau ceweknya dengar gimana? Kalau
ada teman-teman dia di sekitar sini gimana? Aduh gimana sih.” Sahut saya.
“Fahri kan banyak di kampus ini.” Sahut Asha.
Dari cerita Asha, saya juga menceritakan kepada Asha soal
pengalaman "kebetulan" yang terjadi lagi. Jadi, sore itu saya lagi galau, tiba-tiba sahabat
saya, Puspita mengirimi saya pesan dan mengajak pulang bareng naik kereta. Saya
pun harus muter balik dengan rute yang jauh. Seharusnya saya pulang naik busway
lagi sebab lebih dekat ke rumah. Tapi, entah apa yang ada di pikiran saya saat
itu, saya hanya ingin bertemu sahabat saya itu untuk menghilangkan kegalauan
yang ada. Saya pun setuju dan menghampiri sahabat saya. Akhirnya kita pulang
bareng naik kereta dan ngobrol sepanjang jalan sambil berdiri. Sebab kereta
sudah padat total. Tibalah saya di stasiun yang saya tuju. Saat itu hari sudah
malam dan berangin. dingin. lagi-lagi ingat dia. Namun, saya masih merasa cukup lega sebab sudah bertemu sahabat saya dan
menghabiskan sisa sore bersama sambil makan.
“Bodoh lu! malah naik kereta.” Sahut Asha sambil menarik
rambut saya.
“Ih dengerin dulu. Nih, gara-gara gue naik kereta, gue
jadi ketemu Nathan di stasiun. Awalnya kita saling telepon-an dan dia lihat gue dari seberang stasiun. Lu tau kan Nathan itu siapa?” Kali ini saya yang
semangat.
“Iya tau, yang lucu itu kan? Gue tebak pasti dia makin
keren.” Asha menjentikkan jarinya,
“Iya, betul banget. Dia udah berubah. Dan kita ngobrol
panjang banget. Dari stasiun, kita naik bus yang sama menuju arah pulang. Dan lu
harus tau, kita duduk sampingan! Gue kesel saat itu jalanan gak macet. Jadinya cepet
sampe rumah kan.” Sahut saya.
“Dodol! Tapi kalian lucu ya, deketan tapi saling telepon.
Nah, itu tandanya lu harus segera Move On dari Fahri.” Sahut Asha.
“Iya, dan gue jadi merasa hari gue terselamatkan oleh
Nathan. Coba aja, Puspita gak ngajak pulang bareng, pasti gue gak akan ketemu
Nathan dan gue bakal galau gak jelas di busway.”
“Coba aja, gue waktu itu gak beli pulpen sebelum ke
kelas, pasti gue gak berinteraksi sama Al hingga detik ini. Dan semenjak itu,
gue pasti gak akan belajar bareng sama Al meskipun lewat chatting.”
Seperti itulah kira-kira percakapan saya dengan Asha. Dan
kita sepakat bahwa "waktu berbicara" Dia berbicara dengan segenap skenario dan
durasinya. Entah sampai kapan skenario ini bertahan. Yang jelas, apapun itu,
bagaimana pun keadaannya, lalui saja. Biarkan waktu berbicara, sebab ia
membawamu ke sebuah skenario ‘seru’ yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Cheers!
Komentar
Posting Komentar