Sepotong Cerita dari Cinta Ibu

Sepotong Cerita dari Cinta Ibu
Oleh: Syifa Maulidina


Selamat hari Ibu, Ibuku! Semoga Ibu selalu menjadi panutanku. Kata kids jaman now. Semoga Ibu selalu di dalam hati ya pastinya. Jangan sampai lupa jasa-jasa Ibumu walau beliau masih ada atau telah berpulang ke-sisiNya.
Malam ini, saya kembali merevisi tulisan saya mengenai seorang teman yang cukup membuat hati saya tergerak untuk menuliskan kisahnya, sebab menurut saya pribadi, ada sesuatu yang sangat bermakna dari sosok yang sering dipandang sebelah mata, dari sosok yang sering kalian abaikan sebab pacar adalah nomor satu, (ketawa jahat) sosok itu adalah Ibu.
Kisah ini akan saya jadikan cerpen. Nama dan tempat akan saya samarkan demi menghormati pihak-pihak lainnya. Semata-mata saya hanya ingin membagikan kisah yang begitu menyentuh hati saya. Dan semoga para pembaca bisa memaklumi hal ini.
Oke, langsung saja. Saya sudah tidak sabar.
***
            Malam itu hujan masih membius Kota Jakarta, membuat suasana Apartmen milik Widya semakin menghangat seiring waktu berdetak. Ya, pesta sudah dimulai sejak dua jam yang lalu.
“Disya! Tolong tarikin gue, Dis!” suara Widya terdengar samar-samar. Sementara Alfred dan Kintan masih PDKT di sudut ruangan.
“Jadi, bagaimana menurut lo soal tawaran gue tadi?” sahut Alfred sambil terkekeh. Musik masih berdentum hebat diiringi sorak-sorai teman-temannya Widya. Ya, tentu saja malam ini adalah malam yang spesial. Widya berulang tahun yang ke-22.
“Maksud lo? Kita jadian?” sahut Kintan sambil setengah berteriak.
“Iya, kita jadian.” Alfred tersenyum.
“Oke kalo gitu. Gue terima.” Kintan tertawa kemudian melanjutkan “Gue emang udah lama sih suka sama lo, tapi gimana ya, gue gak berani ngobrol sama lo karena gue ngerasa kalo gue bukan cewek yang pantes buat lo.”
“Kintan, kita lupain hal itu ya. Sekarang kita kan udah jadian, nih. Nah, gue ingin membuktikan cinta gue tulus sama lo.” Alfred mengangguk pasti. Sementara Kintan masih bertanya-tanya namun ia tak sempat mengutarakan pikirannya. Dia sudah terlalu mual oleh alkohol yang bereaksi di lambungnya.
“Rico! Pesenin gue kamar di sebelah. Sekarang! Cepet!” Alfred memberikan sejumlah uang kepada Rico—teman kampusnya.
“Ss..siap bos!”
Malam itu segalanya baru dimulai. Sebuah cinta yang katanya harus dibuktikan tak peduli bagaimana selanjutnya. Yang penting atas nama cinta. Begitu katanya.
***
“Alfred! Gue hamil.” Kintan terlihat panik.
“Apa! Kok bisa? Ah, pasti bukan sama gue.” Alfred mematikan rokoknya.
“Jangan pura-pura bego Alfred! Gue gak pernah tidur sama orang lain selain lo.” Kintan menaikkan suaranya.
“Yaudah kasih orang lain aja. Lagipula gue juga ga bakalan mau ngasih tau orangtua gue.” Alfred mengangguk pasti.
“Lo jahat! Lo gak mau tanggung jawab!”
“Ya, lo pikir aja. Gue masih kuliah dan lo juga kan. Nyokap bokap gue juga gak akan peduli sama anak itu. Jadi kasih ke orang lain aja, oke? Soal biaya tenang aja deh, gue tanggung jawab.”
Kintan tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya sudah merasa terkhianati. Bagaimana ia memberitahu orang tuanya? Bagaimana kalau... bagaimana kalau hal-hal buruk menimpanya. Pikirannya mulai tidak karuan.
Akhirnya, Kintan berhasil melahirkan anaknya dengan selamat dan meletakkan anaknya di panti asuhan. Berharap anaknya suatu saat nanti bisa hidup dengan damai. Kintan menangis seraya berucap “maafkan ibu, nak.”
***
Keluarga Ibu Soraya sudah begitu ramai dengan ketiga putranya yang begitu aktif. Namun, Ibu Soraya merasa dirinya masih membutuhkan seorang anak perempuan yang ia dambakan dihidupnya.
“Papa, bagaimana kalau kita mengadopsi seorang anak perempuan?” Ibu Soraya memberanikan diri menginterupsi suaminya yang tengah membaca koran di pagi hari.
“Apa! Apa kamu tidak sayang dengan ketiga anakmu?”
“bukan begitu pa, aku hanya ingin merawat anak perempuan. Aku tetap sayang sama ketiga anakku. Mereka tidak akan tergantikan begitu saja.” Ibu Soraya menatap suaminya yang tengah berpikir.
“Aku ragu kamu bisa adil pada anak-anakmu.”
“Aku janji.”
“Janji. Oke.”
“Papa Serius?”
“Serius.”
Hari itu dengan wajah sumringah, Ibu Soraya membawa pulang anak perempuan yang masih bergeming dalam balutan kain batik yang dia bawa dari panti asuhan. Dia merawat anak itu hingga besar. Dia memanggil anaknya Fara. Fara memiliki kulit yang cerah dan wajah yang begitu mirip Ibu Soraya. Hanya saja rambut ikalnya mewarisi ibu kandungnya yang terdahulu, Kintan. Yang mana Ibu Soraya tidak mengetahui sejarah Fara berada di bumi ini.
Namun sayangnya, kemampuan akademik Fara di sekolah sangat berada di bawah rata-rata kebanyakan murid lainnya. Begitu miris sebab Fara lambat sekali memahami apa yang diucapkan ibu guru di kelasnya. Berulang kali Ibu Soraya dipanggil wali kelas bahwa Fara seharusnya tidak disekolahkan di sekolah umum.
“Akan lebih baik di Sekolah Khusus. Fara jago menggambar dan saya rasa kemampuan menggambarnya akan berkembang jika Ibu menempatkannya di sekolah tersebut.” Ucap wali kelas Fara, namun Ibu Soraya merasa tidak terima mendengar pernyataan seperti itu. Dia merasa anaknya seperti anak-anak normal lainnya. “Saya tidak peduli apa kata ibu. Saya yakin anak saya normal. Dan tetap bersekolah hingga perguruan tinggi.” Bu Soraya meninggalkan ruangan.
Waktu terus bergulir, Ibu Soraya sudah menua. Sementara Fara sudah semester lima di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Kemampuannya masih seperti dulu. Lambat. Dan wali dosen sudah menginstruksikan kepada Ibu Soraya untuk memindahkan Fara ke tempat les saja. Namun, lagi-lagi Ibu Soraya tidak terima dengan pernyataan itu.
“Saya akan keluarkan uang berapapun itu demi pendidikan anak saya di kampus ini.”
Namun nasib berkata lain, Ibu Soraya yang begitu menyanyangi Fara telah meninggal dunia ketika Fara masih membutuhkan sosok ibunya yang sangat sabar. Semenjak itu, Fara tidak diperbolehkan kuliah oleh ayahnya sebab Fara telah di cap sebagai anak yang tidak berguna di kampus oleh teman-temannya. Fara lagi-lagi terjebak dalam cinta yang palsu. Dia menjalin hubungan dengan anak jalanan dan mempunyai bayi. Hal inilah yang membuat ayahnya Fara selalu marah-marah dan merasa tertekan. Begitupun Fara. Dia merasa tertekan ditengah-tengah ketidaktahuannya.
            Bayi itu lahir di muka bumi dengan selamat. Seorang bayi perempuan yang begitu mungil. Namun sayang, bayi itu hanya akan dirawat kakeknya (Ayahnya Fara). Dan  bayi itu tidak akan bertemu ayah dan ibu kandungnya. Sebab Fara sudah tenang di surga bersama ibunya dan suaminya Fara tidak diizinkan memiliki bayi itu.
***
Inilah potret kehidupan yang sesungguhnya. Seringkali hal ini menimpa orang-orang terdekat kita. Bermula dari: atas nama cinta. Dan berakhir dengan: ketidakpastian. Dengan berbagai tanda tanya: Bagaimana kalau anak itu kehilangan figur orangtua yang sesungguhnya? Bagaimana kalau anak itu akan mendapatkan kasih sayang yang berbeda? Bagaimana kalau kebutuhan anak itu tidak terpenuhi?, bagaimana kalau, bagaimana kalau...
Nah, akan lebih baik pertimbangkan segalanya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Namun, hidup memang dinamis. Tapi setidaknya ingatlah bahwa seburuk apapun orang yang telah merawatmu, mereka tetaplah orang yang mempunyai cinta yang tulus terhadapmu. Nah, pembaca sekalian, semoga dari cerita ini dapat menyadarkan kita apa dan bagaimana itu cinta yang tulus dan berakhir damai, walau nyatanya cinta memang tidak mengenal aturan.



Komentar