Cinta Buta?

Waktu masih bergulir beriringan dengan hujan yang terus membius pinggiran kota. Masih menawan setiap ingatan yang telah berlalu. Menghadirkan serpihan tanya yang berserakan di sudut kamarku. Aku masih mengantongi segala kalimat manismu walau tak kudengar secara langsung dari bibirmu yang tak berdosa itu. Sungguh. Aku tidak akan melupakan bagaimana kamu menyebut namaku, menatapku bosan, bahkan kesal dengan segala janji yang kita sepakati sebelumnya yang belum terealisasikan. Dan aku tahu kamu membenci sikapku yang berubah akhir-akhir ini.

Kamu tahu, sekalipun dia sudah menjadi milikmu, aku tidak masalah. Apalagi menyesal. Sebab aku sadar mungkin pilihanmu lebih pantas untukmu. Dan kamu sangat-sangat berhak untuk bahagia.  Namun, ada hal-hal yang membuatku kelu. Ketika kita bertemu lagi di cafe itu, aku melihat sesuatu yang kamu risaukan. Alih-alih aku sengaja mengulur waktu, menceritakan kesibukanku dengan serangkaian kisah-kisah epic ku dengan sahabat-sahabatku. Semata-mata hanya ingin membuatmu tersenyum dan poin plus bagiku ketika kamu tertawa. Kemudian kita tertawa. Malam itu benar-benar syahdu sebelum tiba saatnya kamu mulai menceritakan perempuan itu.

Matamu yang berkaca-kaca tak mampu kamu sembunyikan begitu saja dariku. Aku khawatir. Tidak tega lebih tepatnya. Alih-alih aku hanya diam sambil memikirkan kalimat apa yang tepat untukmu.

"Jalanin aja dulu." Aku hanya mampu mengucapkan tiga kalimat sebagai konklusi setelah berputar-putar memberikanmu perbandingan-perbandingan yang kutahu tidak ada gunanya. Yang sebenarnya kamu sudah tahu jawabannya.

Malam itu masih terlalu sore, berangin, dingin. Aku masih ingin berlama-lama mendengarmu. Sungguh. Tapi aku sadar, bagaimanapun aku harus menjaga jarak sebab kamu sudah miliknya. Menyakitkan memang. Dan aku yakin kamu membenci sikapku saat itu. "Kenapa buru-buru, sih?" Katamu dan aku berusaha tersenyum. Untungnya besok aku harus bertemu Dokter Cherry. Jadi hal ini bisa kujadikan alasan untuk meninggalkanmu.

Hari-hari berikutnya, aku masih berjuang untuk melupakanmu. Namun, lagi-lagi kamu muncul dengan segenap rindu yang masih memabukkan seperti dulu.
Namun, lagi-lagi aku harus menahan setiap jengkal langkah-langkahmu agar kita tidak bertemu. "Jangan sampai rasa itu terulang lagi." Doktrinku pada diri sendiri.

Hingga tiba saatnya kita bertemu lagi di pesta itu. Pesta yang tidak bisa ku tolak, sebab aku tidak ingin mengecewakan sahabat-sahabatku. Dan tentu saja, dirimu hadir bersama dia dan segenap rombongan  lainnya.

"Jadilah seperti biasa. Jangan menghindar tetapi tetap jaga jarak. Mengerti?" Bisik Putri disampingku ketika kamu, dia dan rombonganmu menginjakkan kaki di pintu masuk.

Lantunan more than words yang dinyanyikan Angel membuatku kelu dan ingin protes dengan diriku sendiri. Alih-alih aku hanya  menoleh kepada Putri.
"Tenang, kita akan selalu disampingmu, Renata. Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja." Kanisa menggandeng lenganku. Seketika hatiku kembali merasa lega.

"Halo," katamu kepada teman-temanku.

"Halo," sahutku pelan dan kutahu detik itu Khanisa memelototiku sebab aku terkesan gugup.

"Hari yang cerah bukan, apa kabar?" Sahutku terbata-bata sementara Putri mencubit pinggangku. Dia berbisik "dasar bodoh. Ini sudah malam. Tidak bisa dikategorikan cerah,tahu!"

"Ya, malam ini sangat cerah. Ada bintang yang paling cerah yang pernah ada." Katamu dan aku masih terdiam.

"Ohya, Andrew. Silahkan nikmati pestanya dan uhm, sepertinya Luna ingin minuman yang paling enak kan? Silahkan, di sebelah sana." Sahut Kanisa dengan cepat sementara Luna menatapku dingin.

"Yuk, sayang kita ke sana aja." Ucapnya manja dan aku tidak mampu menyaksikan adegan setelah itu.

"Renata! Tadi itu apa sih?" Putri nyaris mengguncang tubuhku.

"A... aku minta maaf. Aku benar-benar tidak tahu harus berbicara apa." Sahutku kesal pada diriku sendiri.

"Aku tahu melupakan dia itu tidak mudah. Tapi tadi itu seperti kalian ingin pdkt lagi tau gak, sih?" Putri menatapku kesal.

"Apa sebaiknya aku pulang?" Aku benar-benar ingin keluar dari skenario semesta.

"Tidak. Bodoh! Kamu harus terlihat baik-baik saja. Ingat, pesta ini idemu kan." Kanisa menepuk pundakku.

"Oke. Oke. Selanjutnya acara tukar kado dimulai. Ingat ya, Renata. Jadilah seperti biasanya."

Dalam hitungan menit, semua tamu sudah berkumpul untuk acara tukar kado. Aku memilih untuk tidak bergabung dengan berbohong kepada Kanisa bahwa aku ingin ke toilet.
Alih-alih aku berlari ke taman di belakang gedung. Terdiam. Tidak bisa menangis. Hampa.

"Apa enaknya jadi sendiri?" Suara Andrew nyaris membuatku lompat dari kursi taman.

"Hmm... eh... itu aku lagi menunggu...seorang teman.. ya. Seorang teman. Sepertinya dia datang telat..." sahutku lagi-lagi terbata-bata. Sialan.

"Uhm, oke kalau begitu aku ingin berkenalan dengan teman barumu itu." Andrew menaikkan alisnya.

"Sepertinya dia akan lama. Um, jadi akan lebih baik kamu kembali ke dalam gedung, pasti sudah ada yang.. menunggumu juga kan? Hehehe." Aku nyaris mati detik ini juga kalau-kalau Andrew tidak mau pergi dari hadapanku.

"Renata." Andrew menarik nafas panjang. "Ini untukmu." Dia menjulurkan hadiah kepadaku. Aku masih bergeming. Haruskah kuambil? Haruskah?

"Kumohon. Ambillah." Andrew menatap sekeliling untuk memastikan tidak ada yang melihat kami di sini. Di taman belakang gedung.

"Terimakasih." Ucapku seraya mengambil hadiah darinya. Entah rasanya aku ingin lompat-lompat kemudian berlari mengelilingi taman detik ini juga.

"Maaf, aku tidak punya hadiah untukmu. Jika kamu mau, aku bisa pesan sekarang juga. Sungguh. Kamu mau apa?" Sahutku cepat-cepat membuka ponselku dan memberikannya kepada Andrew agar ia mengetikkan barang yang ia mau. Alih-alih dia hanya terdiam.

"Renata." Ucapnya seraya membalikan ponselku. Tangannya dingin. "Aku benar-benar minta maaf." Dia menatapku lekat-lekat. Sementara aku masih bergeming tak mampu mengalihkan pandanganku dari mata coklatnya yang begitu menawan. "Aku tidak tahu sampai kapan hubungan ini berlanjut. Tapi aku harap kamu tidak melupakanku begitu saja." Sahutnya dan aku menelan ludah. Dalam hitungan detik wajah Kanisa dan Putri menginterupsiku untuk menolak tawaran Andrew.

"Andrew, akan lebih baik kalau kita tidak perlu bertemu lagi. Kamu sudah sangat baik. Dan kamu sudah menemukan dia yang sudah pantas." Aku terhenti. Mataku perih. Jantungku berdebar seketika.

Dan sebelum Andrew mengeluarkan kata-kata. Aku segera pergi meninggalkannya. "Maaf Andrew." Gumamku pelan.

Aku berlari ke toilet, berharap Putri dan Kanisa tidak melihatku dengan keadaan seperti ini.

Aku membuka toilet dan mendapati dua bola mata menatapku dingin. Itu Luna.
"Halo, Renata. Malam yang cerah bukan?" Dia menghampiriku dan aku menahan diriku sesaat.

"Ku dengar, Andrew bertemu dirimu di festival seni dua tahun yang lalu. Apa itu benar?" Aku menatap Luna. Tidak ingin menjawab pertanyaannya karena itu hanyalah skenarionya belaka.

"Aku ingin berlama-lama denganmu." Luna menutup pintu toilet dan aku menghalanginya yang hendak mengunci ruangan itu.

"Jangan Luna! Jangan dikunci!"
Dengan cepat dia membuang kunci toilet itu keluar dari jendela.

"Nah, kalau begini kita bisa lebih nyaman kan berkomunikasinya. Well, terlepas dari masalah personal ya, kamu tahu Renata. Acaramu ini sampah. Tidak ada bintang yang istimewa, Bahkan Putri dan Kanisa gagal menghadirkan designer ternama itu! Boleh dibilang kamu dan teman-temanmu itu gagal total."

"Acara ini memang acara sederhana. Justru kami mengundang designer muda yang baru sukses agar menjadi inspirasi."

"Aku gak peduli, Renata. Dari skala satu sampai sepuluh. Aku beri kalian nilai 1. Mengecewakan. Benar-benar mengecewakan. Kamu tahu. Semua tamu-tamu di sini kecewa. Mr.Turnbull, Mrs.Sophia bahkan Miss Adelle yang bilang kepadaku secara langsung."

"Oke, kalau memang seperti itu aku akan meminta maaf kepada mereka. Atau kamu ada saran lain untuk membantu mencari solusinya?"

"Aku gatau. Itu urusanmu. Yang jelas kamu benar-benar diluar ekspektasi. Mengecewakan."

"Apa ini ada kaitannya dengan Andrew?" Sahutku mengumpulkan keberanianku.

"Apa? Andrew? Ohya, Aku dan Andrew memang sudah merencanakan ke jenjang yang lebih serius. Jadi aku sarankan padamu untuk tidak berhubungan lagi dengan Andrew. Apalagi menerima kado pemberiannya. Kamu tahu, kado itu tidak seberapa. Jadi kamu mengerti maksudku kan?" Luna menatapku serius.

"Ya, aku mengerti. Jadi, bisakah kita sudahi percakapan ini. Aku harus mengurus yang lain." Sahutku singkat.
"Tentu saja." Sahutnya kemudian mengeluarkan kunci lain dari tasnya dan membuka pintu toilet seraya menyambar kado pemberian Andrew dan melemparnya ke tempat sampah.
Singkat. Padat. Jelas.

"OMG!!! KEMANA SAJA SIH KAMU? Ini udah dua jam lebih dan pesta dansa mau dimulai. Dasar hantu. Suka hilang gitu deh." Sahut Putri seraya menatapku kesal. Diikuti Kanisa.

"Maaf, aku hanya mengecek sesuatu di belakang gedung." Sahutku tersenyum.

"Aduh Please... ini acara kita semua. Kamu tadi di cariin Mrs.Sophia Di sebelah sana." Kanisa menunjuk area jus.

"Oke. Aku kesana dulu ya." Sahutku berusaha terlihat santai.

Wanita paruh baya dengan sanggul hitamnya mengenakan kain khas kalimantan, menatapku dengan ramah. Memamerkan gigi palsunya yang sangat cemerlang. Mata sipitnya selalu membuatku merasa dirumah. Dia seperti nenekku.
"Renata, tidak ada wine?" Sahutnya terkekeh.

"Maaf Mrs.Sophia. Untuk malam ini kami sengaja tidak menampilkan wine sebab tamu kami sebagian anak SMA."sahutku terkekeh.

"Ide bagus. Sini-sini oma bilangin ya, kamu bisa-bisanya menghadirkan puisi-puisi kesukaan oma ditengah-tengah acara. Kamu tahu, sapardi itu cinta pertama oma." Sahutnya sambil menepuk-nepuk pundakku. Reflek hatiku kembali semangat.

"Mrs.Sophia, apa anda, Mr.Turnbull dan miss.Adelle kecewa dengan acara ini?"
Aku menatap kerutan di mata Mrs.Sophia.

"kenapa bilang seperti itu? Acara kau ini sudah oke. Si Turnbull sama Adelle sibuk tuh ngobrol sama anak-anak SMA. Mau di rekrut sama dia di butik yang baru bulan depan di Mid-Plaza. Bulan depan juga mau ada workshop di GI bersama kawan-kawan kami lainnya."

Sontak seluruh sel-sel di tubuhku mendidih seketika. Bagaimana bisa Luna berkata seperti tadi?

"Wah, saya ikutan senang bu. Ohya, Imelda dari SMA 1 akan ke Paris bulan depan. Mohon dukungannya ya bu."

"Puji tuhan. Saya bangga. Semoga sekolah seni ini kembali mengibarkan benderanya di kancah internasional ya." Mrs. Sophia tersenyum riang dan kembali memelukku.

Dan sejak saat itu, aku menyimpan segala hal yang terjadi antara aku dan Luna. Semata-mata aku hanya ingin menghormati Andrew sebagai orang yang cukup berjasa selama ini. Langkah selanjutnya adalah menjauh dari kehidupan Andrew untuk beberapa lama.

Mungkin cinta itu ilusi yang memabukkan,
Jika cinta tak harus memiliki
Mampukah segenap rindu dititipkan melalui doa dan puisi?
Sebab, bagaimanapun, melupakan ketulusan hatimu adalah hal yang sulit

***

Komentar