Sepasang Bola Mata
Karya: Syifa Maulidina
Hari itu cerah. Aku masih sibuk dengan beberapa catatan untuk laporan hasil kegiatan kampus.
"Lagi-lagi kita pulang malam. Untung hari ini hari terakhir ya." Suara Kanisa memecah keheningan.
"Iya, aku jadi lapar ni. Makan dulu yuk." Sahutku cepat-cepat.
"Ayo! Ngomong-ngomong pegel juga ya 12 jam kerja." Sahutnya sambil terkekeh.
"Iya betul, mana gue juga kurang tidur lagi."
"Eh cek warung makan yang disebelah sana dulu yuk." Sahutnya dengan muka ceria. Tidak biasanya Kanisa semangat seperti ini.
Kami berjalan dan setibanya di warung itu, Kanisa terdiam dan menghela nafas "warung yang lain aja."
"Wah wah ada apa nih?" Sahutku penasaran. Dia hanya tertawa pelan.
Entah, malaikat atau dewi fortuna yang menyuruhku untuk menoleh ke arah kiri, aku menemukan mata itu. Sepasang bola mata yang membuatku terhenti selama tiga detik. Dia cepat-cepat membuka masker bergambar tengkoraknya yang sudah terikat rapi di hampir seluruh wajahnya.
Saat itu angin malam yang dingin berhembus, tapi sungguh, rasanya saat itu begitu gerah. Dan semua lelah seolah terbayar. Parah.
"Hai, Lu masih di kampus rupanya." Dia terkekeh sambil menjulurkan telapak tangannya kearahku. Iya! Kearahku! Sementara aku masih tersenyum kaku di tempat. Mencoba menyambut telapak tangannya dan omg asdf! Ini seperti mimpi.
"Eh... iya. Ini udah mau pulang. Kakak lagi sibuk buat skripsi ya?" Sahutku cepat-cepat tidak ingin kehilangan kesempatan ini.
"Iya, gue lagi seminar. Lu pasti lagi persiapan kuliah kerja lapangan ya?"
"Iya betul kak. Ohya, kenalin kak Ini Kanisa, Kanisa ini senior gue." Sahutku cepat-cepat.
Mereka juga bersalaman singkat. Dan saat itu aku benar-benar kagum memperhatikannya. Namun sepertinya wajahnya terlihat lelah.
"Yaudah, gue mau balik ya. Hati-hati." Sahutnya seraya mengajak bersalaman lagi.
"Siap. Hati-hati juga."
Malam itu cerah dan segala lelah sirna. Setelah 2,5 tahun, mata coklat itu masih sama. Benar-benar masih mempesona.
"Untung lu ngenalin ke gue tadi. Gue dalem hati udah kaget, wah wah nih cowok ganteng amat." Kanisa tersenyum singkat.
"EMANG KANNNN!" Sahutku masih merasa bahagia hingga tiba di warung yang lain.
"Kok bisa kenal?"
"Hobi kita sama. Dan yeah, dia juga udah punya pacar si sebenarnya. Kagum doang." Kataku cepat-cepat.
"Hahaha terserah deh." Kanisa menatapku penuh tanya ketika kami duduk di kursi warung makan.
"Ssst.. udah jangan ngeliatin gitu. Btw makasih banyak ya tadi kita salah jalan. Jadi gue ketemu dia deh." Aku masih senang. Seolah-olah euphoria masa lalu kembali terulang. Ah, euphoria!
"Sebenarnya tadi kita gak salah jalan. Gue emang sengaja mau liat warung itu karena mau liat si Riko."
Kanisa tersenyum menatap jusnya.
"Cieeeee.. bisa modus juga lu. Tapi sekali lagi gue ngerasa senang banget ketemu dia. Makasih Kanisa." Sahutku masih terbawa suasana.
"Iya sama-sama. Ohya, menurut lu kita sebagai cewek butuh kepastian ga?" Kanisa menatapku serius. Kali ini aku nyaris tersedak susu dancow yang terasa sangat manis ini. Seolah mengiringi hari-hari sibuk.
"Hmm... yeah.. butuh lah. Karena mau sampai kapan digantungin ya kan? Sudah, lebih baik lu pastiin ni mau di bawa kemana hubungan kalian." Sahutku sok bijak.
"Enak ya kalo ngomong doang lu. Sebenarnya dia udah bilang kalo dia mau fokus kuliah dan setelah itu baru dia ingin lebih serius." Sahutnya pelan.
"Nah, yaudah semoga benar apa janjinya ya. Tapi lu juga jangan berharap banget gitu." Sahutku.
"Iya. Let it flow aja ya." Dia tersenyum.
"Betul! Karena untuk apa meminta kepastian pada segala kemungkinan yang ada?" Sahutku sambil tertawa. Tidak yakin apakah kalimat ini benar atau salah, namun rasanya kalimat ini ingin meluncur bebas.
"Lu gak makan? Tadi katanya laper." Kanisa menyadarkanku.
"Oh iya. Tapi tiba-tiba liat dia tadi jadi gak laper lagi deh."
"Lebay lu! Makan gih!"
"Iya iya bawel ah. Ini mau mesen juga. Lu juga daritadi belum mesen."
"Gara-gara dikasih permen coklat sama dia gue jadi gak laper."
"Yeee ikut-ikut lu lebay! Makan yuk makan."
Dan kami berdua tertawa. Tertawa pada segala kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Menunggu. Menanti. Apakah cinta memang ada atau hanya euphoria belaka?
***
Komentar
Posting Komentar