Beruntung Sempat Memilikimu
Karya: Syifa. M.
Kala itu segalanya berubah, ketika masalah kecil muncul dan itu terkesan rumit bagiku, kamu muncul dengan segenap kasih. Mungkin terkesan berlebihan tapi ketahuilah, itu benar-benar bermakna untukku—dulu. Dulu sekali.
Senang, sedih, bingung, kesal, marah, sepi, akhirnya kulalui semampuku. Lagi-lagi berkat dirimu.
Lucu memang menyadari segalanya mengalir begitu saja. Seolah saat itu adalah waktu yang tepat bagi kita untuk dipertemukan. Walau ada beberapa hal yang ku ragukan darimu, aku masih percaya kamu benar-benar orang baik yang kebetulan hadir.
Kita ngobrol, tertawa, nonton film, bahkan bertukar segala cerita-cerita konyol. Gak penting. Tapi seru.
Aku sangat berterimakasih kepadamu untuk setiap saran dan hal-hal kecil yang menyadarkanku bahwa hidup ini terlalu singkat untuk membenci seseorang.
Hingga suatu waktu, kamu berhasil membuatku kagum. Mungkin jatuh hati. Terlalu senang bahkan, hingga aku mulai menghilangkan segala keraguan yang ada. Aku ingin memahamimu juga. Dan tibalah waktu itu, dimana kita duduk berhadapan ditemani kopi, musik dan gerimis. Saat itu aku ingin mencoba mengungkapkan segalanya.
Tapi, untungnya aku mempersilahkan dirimu lebih dulu untuk berbicara, dan ya, setelah itu aku mengurungkan diri untuk berbicara.
Alih-alih, aku berusaha tersenyum dan merayakan kebahagiaan yang baru saja kamu sampaikan. Kebahagiaan yang tak ingin ku rusak begitu saja. Kamu sudah menemukan orang yang lebih tepat dan aku harus bahagia untuk itu.
Semenjak kejadian itu, hatiku hampa. Benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang telah terjadi sebelumnya, seperti mimpi indah yang berakhir tragis. Begitu tragis.
Di kelas, di lorong, di kantin, di perpustakaan, di bangku-bangku semen, di parkiran, semuanya dingin. Dan aku takut.
Aku takut kalau-kalau kita tidak bisa berteman lagi. Seperti dulu. Kita tidak bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan lagi. Dan yeah, hal itu menjadi kenyataan.
Sekarang kesendirian itu semakin terasa.
Terkadang pertanyaan-pertanyaan bodoh muncul dihadapanku seperti “kenapa kita bertemu?” “kenapa dulu aku merasa senang didekatmu?” “kenapa kita sempat melakukan hal-hal konyol semacam itu padahal kita stranger?” dan segala pertanyaan lain yang semua jawabannya mungkin telah dibahas di blog orang lain atau di tiap artikel-artikel percintaan. Namun hatiku seolah kembali merisaukan hal itu. Kenapa semuanya berlalu begitu cepat?
Lagi-lagi kenapa.
Aku benar-benar diam untuk beberapa hari selama di kelas. Hal ini sangat mengganggu. Namun diam adalah pilihan yang baik ketika hatimu kacau bukan?
Seiring berjalannya waktu, dengan tugas-tugas yang berhasil membiusku dengan segenap topik-topik menarik yang tak bisa kuabaikan begitu saja, aku berhasil mengatasi segala perasaan tak menentu ini. Aku berhasil memfokuskan kembali pikiranku dengan tugas-tugas yang ada. Tiba-tiba semangatku muncul ketika seorang dosen memberiku nasihat agar tidak perlu galau. Hal itu membuat dirinya bercerita sedikit tentang pengalaman percintaannya kepadaku. Lucu memang, sebab kita ngobrol di akhir kelas seperti seorang teman.
“Ah, cowok kayak gitu mah banyak. Kebetulan aja dia lagi ketemu kamu. Tenang aja, Syif, nanti setelah lulus kamu pasti dapat yang lebih dari dia. Percaya deh sama saya. Karena yang pacaran aja belum tentu sampai di pelaminan. Bisa aja deketnya sama dia, jadiannya sama yang lain, nikahnya sama yang lain lagi.” Sahutnya sambil tertawa menyeruput kopinya yang hampir dingin sebab daritadi terlalu asyik bernostalgia.
“Yang kemarin kemana?” kata om, ketika aku berkunjung kerumahnya untuk beberapa hal sepulang dari kampus.
“Udah punya pacar.”
“Yah hahaha. Serius?” sahutnya seraya menghampiriku yang sibuk di meja kerjanya.
“Serius.”
Tiba-tiba dia langsung menceritakan masa lalu percintaannya kepadaku. Bagaimana ia bisa menikah dengan wanita yang saat ini menjadi istrinya dan bagaimana dia menjaga kedua anaknya. Walau tak terlalu detail tapi aku mendapat gambaran singkat mengenai kisahnya. Dan, yeah, mirip-mirip lah sama ceritanya pak dosen beberapa waktu lalu.
“anggap aja yang kemarin uji coba. Biar lebih ada dinamikanya.” Katanya sambil menyulut rokoknya. Aku tertawa, menyadari bahwa masalah yang kuhadapi begitu sederhana.
Hingga suatu malam, ayah bertanya kepadaku perihal percintaan. Dan yeah, akhirnya aku cerita semuanya. Semua yang pernah kulalui dikampus. Hal-hal menyebalkan dengan beberapa teman. Serta apapun itu yang mengganggu hati.
“Cowok emang gitu. Udahlah lupain aja. Masih banyak yang lain. Belajar yang rajin.” sahutnya sambil memelukku singkat. Setelah itu ia kembali menceritakan masa-masa mudanya. Bagaimana ia menulis surat untuk cewek paling pintar dan paling cantik di SMA-nya dulu, dan bagaimana ia akhirnya meninggalkan cewek itu dan pada akhirnya dia menemukan orang lain sebagai istrinya yaitu perempuan yang menjadi ibuku saat ini.
Lucu memang membayangkan segala hal yang terjadi di zaman dulu. Terlalu unik. Kontras. Tapi romantis.
“Sekarang zaman kamu ada aplikasi online. Seharusnya lebih mudah untuk cari yang lain.” Sahut ayah sambil tertawa.
Dari sini, semangatku kembali menyala. Kali ini terasa lebih kuat. Aku bisa memastikan, aku baik-baik saja tanpamu. Terimakasih pernah hadir dihidupku, walau singkat.
“Karena melupakanmu adalah hal yang mudah dan mengingatmu adalah buang-buang waktu. Dan menjadi sendiri tidak masalah sebab mencari yang lain adalah hal yang paling mudah. Sebab hidupku bukan hanya tentang kamu.”
***
Komentar
Posting Komentar