Senior Vs. Junior

Sebenarnya saya sudah memutuskan untuk tidak menuliskan ide ini. Saya sempat merasa bahwa tidak perlu ada yang dirisaukan lagi. Tapi, keadaan seolah memberi saya sinyal untuk menyampaikan ide ini. Ups, tidak perlu terlalu serius, santai saja. Ini hanyalah serpihan kecil dari segala hal di bumi ini.

Pagi itu, hari kamis. Dan saat itu saya sudah bangun lebih awal sehingga saya memutuskan untuk naik kendaraan umum saja. (Jalanan di sekitar rumah saya sulit di prediksi. Semenjak ada proyek pembangunan jalan tol, kemacetan semakin parah. Saya bisa menghabiskan satu jam hanya untuk melewati jalan yang jauhnya hanya beberapa ratus meter saja. Sedangkan perjalanan dari rumah saya ke kampus biasanya hanya bisa di tempuh 1-1.5 jam. Bayangkan, bisa-bisa saya di perjalanan selama 2.5 jam!)
Tidak ada polisi bahkan tukang parkir sekalipun yang mau mengatur jalanan itu. Dan tidak mungkin juga saya turun karena banyak kendaraan. Jadi kalau pagi, lebih tepat naik g*jek untuk hari senin dan selasa. Sementara kamis dan jumat tidak terlalu macet. :D

Pukul 6.30 pagi saya sudah berada di kendaraan umum menuju kampus. Saya memilih duduk di pojok dan di deretan saya ada bapak-bapak mengenakan ransel hitam lengkap dengan kemeja kerjanya. Dia tersenyum seraya menawarkan kue kering buatan istrinya. Saya menolaknya secara halus karena saya benar-benar sudah sarapan.

Sementara itu, di hadapan saya, ada seorang perempuan yang sepertinya mahasiswi.
Kemudian, di pertigaan jalan naiklah seorang bapak-bapak bertubuh sangat besar. Dia mengenakan kaos dan celana khas tentara. Air mukanya begitu tegas. Dia duduk berhadapan dengan bapak yang tadi menawarkan kue.

Tepat ketika saya sedang memperhatikan bapak yang bertubuh besar itu, saya benar-benar melihat bapak itu meludahi si bapak yang menawarkan saya kue.

Saya benar-benar kaget.

"Bapak, saya benar-benar minta maaf." Ucap si bapak yang bertubuh besar itu.

"Ya." Sahut si bapak dengan nada santai seraya membersihkan wajahnya.

Saat itu saya masih menanamkan sugesti positif kepada diri saya. 'Mungkin memang tidak sengaja.'
'Mungkin angin membuat ludahnya mengenai si bapak'

Saya berusaha meredam kekagetan saya dengan membaca cerpen seorang teman dari dunia maya.

Tidak lama kemudian, naiklah seorang ibu yang mengenakan hijab dan dia terlihat seperti ibu guru.
Tiba-tiba si bapak yang bertubuh besar menyapa si ibu dengan ramah. Tentunya dengan suara berat khas tentara.

Mereka berbicara mengenai pendidikan yang semakin mahal kemudian si bapak bercerita mengenai hidupnya. Saat itu kendaraan umum sudah sesak.

"Saya dulu biasa hidup di alam terbuka. Biasalah kan tentara. Saya sudah tidak betah dengan kehidupan di kota. Makin banyak gedung, makin banyak orang jualan, makin banyak kendaraan, mau jadi apa kota?"

Si ibu hanya tersenyum dan terkekeh sesaat. Sementara bapak yang menawariku kue sudah menyibukkan diri dengan ponselnya.

"Saya sudah lama tinggal di daerah sini." Lanjut si bapak yang mengaku tentara.

Di sini saya sedikit kesal. Rasanya ingin saya bertanya "Kenapa anda masih betah tinggal di daerah ini? Ini kota!" Tapi alih-alih saya tetap menyibukkan diri dengan ponsel saya.

Dalam detik-detik berikutnya si bapak yang mengaku tentara ini pun bercerita mengenai kepemimpinan presiden nomor 2 secara panjang lebar. Kemudian ia bercerita mengenai kebun miliknya dan makanan favoritnya.

Si ibu hanya menanggapi sewajarnya saja dan semua orang menjadi jenuh. Termasuk saya. Ditambah lagi dengan kelupaan saya membawa headset.

Tibalah kendaraan umum di pasar. Lumayan macet dan banyak orang berlalu-lalang di trotoar. Kemudian dalam hitungan detik, si bapak yang mengaku tentara itu kembali menyemburkan ludahnya keluar dari kendaraan. Berulang kali. Dan saya benar-benar tidak habis pikir. Ludahnya mengenai tas belanjaan ibu-ibu. Entah sudah berapa tas belanjaan yang kena. Semua orang berlalu-lalang dan tidak sadar ada ludah dari kendaraan umum yang saya tumpangi. 

Dengan perasaan campur aduk. Saya menuruni kendaraan umum dan menyebrangi jalanan.
Kejadian macam apa tadi? Pikir saya.
Haruskah seorang tentara berperilaku demikian? Dan sayangnya hal itu di sengaja. Sungguh benar-benar tindakan yang mengecewakan.

Akhirnya saya kembali mempersiapkan mood saya untuk kelas pagi.

***

Jumat siang, saya baru saja selesai mengikuti kuliah pagi. Pertemuan dengan seorang teman pun akhirnya gagal karena sesuatu hal yang sepele. Dia ketiduran.
Saya cukup kecewa dan cepat-cepat bergegas untuk pulang karena sudah ada kekasih, ups, 2 buku yang menanti saya di rumah.

Di kendaraan umum menuju rumah saya, saya dikejutkan dengan segerombolan anak SD yang langsung menyerbu kendaraan yang saya tumpangi. Saya merasa tidak asing melihat batik yang mereka pakai, dan benar saja, mereka sekolah di SD saya dulu.

Kini posisi saya diapit oleh mereka. Di depan saya seorang anak cowok terlihat kurang bersemangat. Matanya merah dan berair.

"Tisu, dong." Katanya kepada teman di sampingnya.
Dalam hitungan detik si cowok yang tidak bersemangat ini terbatuk dan mengeluarkan dahaknya di tisu pemberian temannya. Kemudian menyimpan tisu bekasnya ke dalam tasnya.

Dari sini saya merasa bangga dengan tindakan anak cowok yang duduk di hadapan saya. Dalam keadaan mendesak sekalipun, dia masih berusaha menjaga etika.
Tak peduli berapa usia-mu, latar belakangmu, berapa uang yang kamu punya, berapa penghargaan terbaik untukmu, etika adalah nomor satu.

Komentar