Suatu waktu, hiduplah seorang perempuan yang tinggal dengan ibu tiri beserta ketiga putrinya. Keadaan di rumah tersebut begitu kacau. Tidak ada keadilan bagi perempuan itu. Cinderella.
Hingga suatu malam, sang pangeran di kota tersebut mengadakan pesta dansa.
Beruntungnya, undangan pesta dansa tersebut mendarat di rumah Cinderella.
Namun, Ibu tiri beserta ketiga putrinya tidak mengizinkan Cinderella untuk datang. Lagi-lagi malam Cinderella direnggut habis-habisan.
Tunggu dulu, pelangi selalu datang setelah badai bukan?
Yup, dalam hitungan jam muncullah ibu peri dengan tongkat saktinya.
Layaknya seorang putri dari negeri para bidadari, Cinderella datang ke pesta dansa.
Sang pangeran jatuh hati pada pandangan pertama. Begitu juga Cinderella. Mereka berdansa hingga larut malam dan Oh! Tidak! Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Cinderella harus pulang sebelum penampilannya berubah menjadi jelek dan kotor.
Dengan sigap, Cinderella berlari menuruni tangga dan tanpa sengaja meninggalkan sepatu kaca miliknya.
Sang pangeran yang sudah sangat jatuh hati pun rela berkorban mencari sepasang sepatu kaca yang cocok dengan sepatu kaca yang ia temukan.
Dari sekian banyak perempuan yang ada di kota, tidak ada satupun yang memiliki ukuran kaki yang pas dengan sepatu kaca temuan sang pangeran.
Tibalah pangeran di rumah yang ada di pinggiran kota, di waktu yang bersamaan, seperti biasa, Cinderella tengah berada di tempat paling nyaman yang pernah ada. Di kamarnya. Di gudang.
Ketiga saudara tiri Cinderella pun ikut mencoba sepatu kaca tersebut. Hasilnya Nihil.
Entah, waktu berkata apa untuk kejadian mengesankan ini. Pangeran sangat yakin ada orang lain di dalam rumah tersebut. Dan dengan terpaksa, ibu tiri memanggil Cinderella.
Dalam hitungan detik, waktu menjawab perasaan-perasaan semu. Semuanya jelas. Cinderella adalah pemilik sepatu kaca itu.
Sang pangeran menyatakan cintanya dan dengan senyuman hangat di sambut Cinderella. Mereka menikah dan Cinderella menjadi ratu kerajaan.
***
Berikut adalah petikan kisah Cinderella yang terlampau sering di dengar. Sebuah kisah klasik yang berujung kebahagiaan.
Sebuah kisah yang didambakan setiap orang. Namun, lagi-lagi hanya angan. Terlalu manis. Terlalu indah. Terlalu susah di gapai. Lagi-lagi hanya dalam imajinasi. Basi.
Tunggu dulu, hanya sebatas itukah sudut pandang ini?
Bagaimana kalau kita pertanyakan lagi lanjutan dari kisah Cinderella.
Bagaimana kalau setelah kebahagiaan menjadi pasangan sang raja tidak bertahan lama? Bagaimana kalau ternyata Cinderella tidak tahu bahwa sang raja punya masalah dengan beberapa perempuan lain?
Bagaimana kalau ternyata Cinderella tidak sepenuhnya bahagia dengan sang raja?
Sampai di sini, sudah banyak dugaan-dugaan setelah "cinta" di ucapkan.
Banyak hubungan manis bermula dengan "aku sayang kamu" dan berjalan dengan "kita tidak bisa berjalan bersama" kemudian berakhir dengan "biarlah kita jalani hidup masing-masing"
Well, singkat. Padat. Jelas.
Dari sini, coba renungkan baik-baik. Mengapa cinta bisa berubah?
.
.
.
Gue akan bercerita pengalaman pribadi gue dengan sepasang kekasih. Di mana salah satu dari mereka adalah sahabat gue. Oke kira-kira begini.
.
.
.
Siang itu gue dan sahabat gue udah janjian di salah satu mall di jakarta selatan. Kita berencana buat makan di salah satu tempat yang emang udah kita rencanain.
Setelah bertemu di lokasi,di sela-sela makan, dia mulai bercerita mengenai hubungannya dengan pacarnya. Seperti biasa, selalu hangat dan manis. (Kalo ini martabak fix gue suka).
Alih-alih gue senyum dan menenggak moka untuk yang ke sekian kalinya.
"Yah, gue sih ngerasa udah nyaman banget." Kata sahabat gue.
"Well, itu bagus. Semoga langgeng." Kata gue.
"So, gimana hubungan percintaan lu? Dari tahun lalu gue cuma denger kata 'proses' dari lu. Ini pdkt apa bikin SIM?" kata dia.
Sebenarnya di detik ini gue ingin berkata kasar, tapi apa daya, gue tau itu kenyataan. Lagi-lagi gue menenggak moka terakhir.
"Ceritanya panjang." Kata gue.
Ceritanya emang kompleks dan gabisa gue publikasiin begitu aja. Ini menyangkut masalah yang sangat-sangat 'pribadi' dari orang tersebut dan gue ga bisa gitu aja memaksakan kehendak gue. Oke. Intinya gitu.
"Ow, oke. Ohya, ngomong-ngomong doi mau dateng kesini. Boleh ya?" Sahut dia ceria. Banget.
"Terserah." Gue udah memprediksi hari ini bakalan buruk.
Dalam hitungan menit, doi-nya sahabat gue dateng. Sedetik setelah dia menyalami gue, dia langsung duduk di samping sahabat gue.
Posisi kita berhadap-hadapan. Bedanya: mereka ber-dua dan gue ber-tiga yang kira-kira(gue lagi sama malaikat di sisi kiri dan kanan gue).
Detik-detik berikutnya, gue diam. Benar-benar diam. Gue gak tau harus ngomong apa di tengah-tengah kemesraan mereka.
Setelah gue pikir baik-baik (agar gue tidak berkata kasar) alhasil gue pamit buat pergi dari mereka. Sementara mereka lanjut bermesraan dan mengacuhkan gue.
**
Hari-hari berikutnya gue gak sengaja liat timeline ig-nya sahabat gue itu. Ternyata dia dan pacarnya udah putus.
Gue gak ngerti lagi gue harus berkata apa.
Gak lama setelah kejadian putus itu, sahabat gue langsung mengisyaratkan gue untuk tidak perlu pacaran. Dan lebih baik langsung menikah saja.
Gue kaget. Benar-benar kaget.
Tiba-tiba dia mengangkat topik keagamaan dan mengaitkannya dengan gue. Menurut gue, dia memakai cara yang kurang mengenakkan hati gue. Karena apa?
Karena dia secara tidak langsung menjudge gue yang emang belum melaksanakan beberapa perintah agama itu.
Maksud gue disini adalah, tidak seharusnya dia mengingatkan gue dengan cara yang terlalu menggebu-gebu. Ini begitu ekstrem menurut gue.
Dia bahkan juga sudah melanggar aturan agama sejak awal dia dan pacarnya jadian!
So, kalo mau di bilang imbang. Gue rasa kita imbang. Jadi masalah di sini apa?
Apa harus menghitung berapa derajat kekafiran? Menghitung dosa mungkin?
Gue punya alasan sendiri dan gak akan gue publikasiin begitu aja. Gue mengerti agama gue, gue mengerti hukum sebab-akibat, dan sedang memasuki proses mencari diri gue yang sesungguhnya.
Jadi, seharusnya dia menghormati keputusan gue, bukannya menjudge. Dan sangat disayangkan ternyata dia belum mengerti gue, sebagai sahabatnya. Sangat disayangkan.
.
.
.
Terus apa hubungannya dengan Cinderella yang gue ceritain ulang di awal?
.
.
.
Persamaannya adalah Cinderella dan sahabat gue sama-sama menjalin cinta.
Dari segala kemungkinan yang mengiringi kehidupan Cinderella setelah dinikahi sang raja, pasti mereka mengalami gejolak. Karena apa, mereka digambarkan sebagai manusia di cerita itu.
Dalam menjalaninya, setiap orang punya cara yang berbeda-beda tergantung siapa pasangannya.
Yang terpenting, menurut gue, bagaimana memposisikan diri, bagaimana bersikap dan bagaimana melihat "cinta" dari sudut lain.
Oke. Gue bakalan jelasin "cinta" menurut gue.
Setiap "cinta" memulai dramanya masing-masing. Mungkin ada yang mirip dengan kisah Cinderella? Tidak masalah.
Hanya saja bagaimana mempertahankannya.
Setiap orang di dunia pasti punya alasan mengapa mereka pacaran.
Gue setuju dengan pacaran karena menurut gue pacaran itu adalah langkah baik untuk mengenal lebih dekat orang yang di rasa cocok menjadi teman hidup. Pacaran itu langkah melatih diri dalam bersikap baik kepada seseorang.
Kalo gue masih gak kebayang kalau buru-buru nikah di usia muda gimana, bahkan tanpa pacaran.
(Yah, oke-oke saja kalau emang udah merasa sanggup dan direstui dua pihak).
Melihat "cinta" menurut gue, bukan berarti harus selalu bersama tiap detik, menit, jam, telponan 3x sehari (kalo gak di telpon langsung baperan atau mungkin nangis sampe guling-guling?), tiap malam minggu wajib (pake banget) jalan ke mall terus nonton film dan makan malam bersama, dan ber-mesraan di setiap tempat (gak peduli di sana ada orangtua, orang lain, bahkan sahabat sendiri karena "dunia milik berdua").
Itu terlalu sempit. Terlalu membosankan.
Cinta bukan resep dokter. Bahkan nafsu belaka.
Mencintai seseorang berarti belajar membaca hati dan pikiran dia.
Sekali lagi, Proses.
Semua hal butuh proses. Proses belajar agar menjadi lebih baik, dan ini adalah alasan gue untuk selalu belajar di dunia ini.
.
.
.
Oh ya, memang tidak mudah.
.
.
.
Sekian,
Selamat Pagi.
Semoga dirimu selalu bahagia. :)
***
Komentar
Posting Komentar